Beranda | Artikel
Matan Al-Ghayah Wat Taqrib (Matan Abu Syuja)
11 jam lalu

Matan Al-Ghayah Wat Taqrib (Matan Abu Syuja) merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Matan Al-Ghayah Wat Taqrib. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 22 Rabiuts Tsani 1447 H / 14 Oktober 2025 M.

Kajian Tentang Matan Al-Ghayah Wat Taqrib (Matan Abu Syuja)

Diperlukan skala prioritas dalam menuntut ilmu (thalabul ilmi). Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Imam Malik bin Anas:

“Sungguh, menuntut ilmu adalah sesuatu yang bagus, tetapi perhatikanlah apa yang menjadi kewajibanmu dari pagi sampai sore. Maka, tepatilah hal itu, jadikan sebagai prioritas, mulailah dari sana, dan jangan mendahulukan yang lain.”

Kewajiban utama setiap hari adalah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengesakan-Nya, dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Dengan demikian, pembahasan tauhid, aqidah, dan tata cara ibadah yang sesuai dengan teladan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. tanpa penambahan menjadi prioritas utama. Selanjutnya adalah pembahasan tentang thaharah (bersuci)—seperti cara berwudhu—dan pelaksanaan shalat lima waktu, mulai dari Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, hingga Isya.

Pembahasan fikih ibadah ini akan dimulai dari Kitabut Thaharah (bab tentang bersuci), dilanjutkan dengan Kitabus Shalah (bab tentang shalat), kemudian bab tentang zakat, puasa, dan haji. Panduan yang akan digunakan adalah kitab Matan Al-Ghayah Wat Taqrib karya Abu Syuja al-Asfahani Rahimahullahu Ta’ala, yang wafat pada tahun 500 Hijriah. Beliau termasuk ulama dari abad kelima Hijriah. Saat ini, kita berada di abad ke-15 Hijriah, yang berarti beliau hidup 1.000 tahun yang lalu—sebuah rentang waktu satu milenium atau sepuluh abad.

Meskipun terpisah oleh satu milenium, iman dan Islam menyatukan umat ini, sehingga kitab yang beliau tulis masih terjaga dan bahasanya mudah dipahami. Ini berbeda dengan sebagian bahasa lain yang bisa berubah total dalam rentang 300–400 tahun, seperti perbedaan antara bahasa Jawa modern dan Jawa kuno. Para ahli menyebutkan bahwa bahasa Arab memiliki keistimewaan, yakni tidak adanya perbedaan yang terlalu jauh antara bahasa pada abad ke-15 Hijriah dengan bahasa pada abad kelima Hijriah. Bahkan, jika ditarik lebih jauh ke zaman penulisan hadits pada abad kedua dan ketiga Hijriah, atau hadits yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada abad pertama Hijriah—dengan selisih 14 abad—bahasanya masih tetap sama dan dapat dipahami dengan baik.

Kitab panduan ini bernama Matan Al-Ghayah Wat Taqrib dan juga terkenal dengan nama Matan Abi Syuja. Nama lengkap penulisnya adalah Abu Syuja Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad al-Asfahani Rahimahullahu Ta’ala. “Abu Syuja” adalah nama kunyah beliau. Para ulama Arab memiliki kebiasaan menamai diri dengan kunyah, yang umumnya diambil dari nama anak laki-laki pertama, meskipun tidak selalu demikian.

Adapun Al-Asfahani adalah nisbah kepada Asfahan, salah satu kota di Persia (sekarang bagian dari Iran). Pada masa lalu, Ahlus Sunnah wal Jama’ah pernah memiliki kekuasaan di sana sebelum berpindah kepada Syiah. Meskipun saat ini kekuasaan di Iran dipegang oleh Syiah, masih terdapat banyak provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kota Asfahan juga disebutkan dalam hadits masyhur tentang Yahudi Asfahan yang akan keluar bersama Dajjal di akhir zaman. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. bersabda:

يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُودِ أَصْبَهَانَ سَبْعُونَ أَلْفًا عَلَيْهِمُ الطَّيَالِسَةُ

“Dajjal akan diikuti oleh tujuh puluh ribu Yahudi dari Ashbahan (Isfahan) yang memakai thayalisah (jubah tebal).” (HR. Muslim).

Sebuah kewajiban untuk mengimani hadits-hadits shahih seperti ini. Apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pasti akan menjadi kenyataan. Sebab, semua yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an dan hadits qudsi, serta yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits-hadits yang shahih, adalah kebenaran. Kabar-kabar mengenai umat terdahulu, para nabi, tanda-tanda hari kiamat, dan fitnah akhir zaman wajib diimani dengan sepenuh hati.

Agama ini terdiri dari dua bagian: hukum-hukum (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah) dan kabar-kabar yang harus diimani. Mengimani kabar-kabar tersebut dengan hati akan mendatangkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala

Gelar beliau adalah Al-Qadhi Abu Syuja Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad al-Asfahani Rahimahullahu Ta’ala. Dalam mukadimah kitabnya, beliau menulis:

بسم الله الرحمن الرحيم

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Beliau memulai kitab ini dengan meminta pertolongan kepada Allah, karena seorang muslim tidak akan bisa menyelesaikan suatu pekerjaan kecuali dengan pertolongan-Nya. Lafaz bismillahirrahmanirrahim tidak sekadar zikir, tetapi mengandung makna isti’anah (meminta pertolongan). Sebagaimana beliau memulainya saat menulis, hendaknya pembaca juga mengucapkannya saat memulai kajian ini.

Selanjutnya, sebagaimana tradisi para ulama, beliau mengucapkan hamdalah sebagai wujud syukur atas berbagai nikmat dan berselawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. beserta keluarga dan para sahabatnya.

الحمد لله رب العالمين، وصلى الله على سيدنا محمد النبي وآله الطاهرين وصحابته أجمعين

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada pemimpin kita, Muhammad, sang Nabi, beserta keluarganya yang suci dan seluruh sahabatnya.”

Kemudian beliau menjelaskan alasan penulisan kitab ini:

“Sebagian kawan—semoga Allah menjaga mereka—meminta saya untuk menyusun sebuah ringkasan (mukhtasar) dalam bidang fikih berdasarkan mazhab Imam Asy-Syafi’i, semoga rahmat dan ridha Allah tercurah kepadanya.”

Imam Asy-Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i al-Muththalibi) adalah pendiri mazhab Syafi’i, salah satu dari empat imam mazhab. Beliau lahir pada tahun 150 Hijriah dan wafat pada tahun 204 Hijriah dalam usia 54 tahun. Meskipun usianya terbilang singkat, beliau dianugerahi umur yang berkah sehingga mampu meninggalkan khazanah ilmu yang sangat luas dan terus dipelajari hingga kini. Mazhab Syafi’i merupakan mazhab yang paling populer dan banyak diikuti oleh umat Islam di Indonesia. Karena itu, mempelajari fikih ibadah dengan panduan kitab mazhab Syafi’i adalah langkah yang baik, sebagaimana dianjurkan oleh banyak ulama untuk mempelajari fikih dari mazhab yang dominan di negara masing-masing.

Kawan-kawan penulis memintanya menyusun sebuah kitab: “Yang sangat ringkas dan padat.” Tujuannya adalah agar para pembelajar mudah mempelajarinya dan agar fikih menjadi sesuatu yang dekat, tidak sulit untuk diselesaikan. Dari sinilah nama kitab ini berasal. Matan adalah kitab dasar yang berisi intisari suatu cabang ilmu. Ghayah berarti puncak, merujuk pada ghayatul ikhtisar (puncak keringkasan). Sementara itu, taqrib artinya mendekatkan, yakni mendekatkan para penuntut ilmu agar mudah mempelajari dan menamatkannya.

Tujuan lainnya adalah agar mudah bagi pemula untuk menghafalnya. Menghafal matan merupakan tradisi para ulama untuk menguasai berbagai cabang ilmu sebelum beralih ke kitab-kitab yang lebih tebal. Salah seorang guru, Syaikh Sulaiman bin Amr Ar-Ruhaili, pernah menyampaikan bahwa salah satu kunci menuntut ilmu adalah menghafal matan atau paling tidak memahaminya. Tentu pemahaman lebih penting, tetapi yang sempurna adalah memahami sekaligus menghafalnya.

Penulis juga diminta untuk memperbanyak klasifikasi dan penyebutan batasan jumlah (khisal). Contohnya adalah ketika membahas rukun wudhu, beliau menyebutkan: “Rukun wudhu ada enam,” lalu merincinya. Begitu pula saat menyebutkan: “Air yang boleh dipakai untuk bersuci ada tujuh macam.” Ini adalah contoh metode yang memang diminta oleh kawan-kawannya.

Beliau menutup mukadimahnya dengan menyatakan niatnya: “Maka, saya penuhi permintaan itu demi mencari pahala, seraya berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberi taufik menuju kebenaran. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui terhadap hamba-hamba-Nya.”

Pernyataan ini merupakan sebuah kehormatan bagi penulis, sekaligus pengingat tentang pentingnya keikhlasan. Sebagaimana beliau menulis kitab ini dengan ikhlas demi mengharap pahala, hendaknya kita pun mempelajari kitab ini dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan untuk tujuan duniawi. Perbaikilah hati sebelum menapaki lembar demi lembar kitab Matnul Ghayah wat Taqrib ini.

Kitabut Thaharah (Bab Bersuci)

Secara bahasa, kitab berarti kumpulan. Istilah ini merujuk pada kumpulan lembaran kertas. Dalam bahasa Arab, ada kata yang serupa, yaitu katibah, yang berarti pasukan atau kumpulan prajurit. Dengan demikian, Kitabut Thaharah adalah sebuah bab yang menghimpun berbagai permasalahan terkait thaharah atau bersuci.

Secara bahasa, thaharah berarti kebersihan (an-nadhafah). Adapun secara syariat, maknanya adalah bersuci dari hadas dan najis. Para ulama menyepakati bahwa thaharah terbagi menjadi dua jenis:

  1. At-Thaharah minal Hadas (Bersuci dari Hadas) Hadas adalah kondisi non-fisik pada diri seseorang yang menghalanginya melakukan ibadah tertentu. Hadas terbagi menjadi dua:
    • Hadas Kecil: Disebabkan oleh hal-hal seperti buang angin (kentut), buang air kecil atau besar, tidur pulas, atau menyentuh kemaluan. Cara menghilangkannya adalah dengan berwudhu.
    • Hadas Besar: Disebabkan oleh bersenggama atau keluar mani. Cara menghilangkannya adalah dengan mandi wajib (mandi junub).
    • Jika air tidak tersedia atau tidak dapat digunakan, kedua jenis hadas ini dapat dihilangkan dengan tayamum.
  2. Izalatun Najasah (Menghilangkan Najis) Najis adalah benda kotor secara syariat, seperti darah, air kencing, atau tinja. Menghilangkan najis berarti membersihkan benda najis tersebut dari badan, pakaian, atau tempat.

Kewajiban bersuci terkadang hanya mencakup salah satunya, namun bisa juga keduanya sekaligus.

  • Hadas Saja: Contohnya adalah seseorang yang kentut. Angin yang keluar menyebabkan hadas, tetapi tidak tergolong najis. Maka, kewajibannya hanya satu, yaitu berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil.
  • Najis Saja: Contohnya adalah ketika pakaian seseorang terkena najis, seperti air kencing (bukan dari dirinya). Dalam kondisi ini, ia tidak berhadas, sehingga kewajibannya hanya menghilangkan najis tersebut, misalnya dengan mencuci pakaiannya.
  • Hadas dan Najis Bersamaan: Kedua jenis thaharah ini dapat berkumpul dalam satu waktu, misalnya ketika seseorang buang air kecil. Keluarnya air seni menyebabkan ia berhadas, sementara air seni itu sendiri adalah najis. Oleh karena itu, ia memiliki dua kewajiban: menghilangkan najis (istinja dan membersihkan area yang terkena) dan menghilangkan hadas dengan berwudhu jika hendak melakukan ibadah yang mempersyaratkannya, seperti shalat, memegang mushaf, atau tawaf.

Jenis-Jenis Air untuk Bersuci

Penulis menyatakan:

المِيَاهُ الَّتِي يَجُوزُ بِهَا التَّطْهِيرُ سَبْعُ مِيَاهٍ: مَاءُ السَّمَاءِ، وَمَاءُ الْبَحْرِ، وَمَاءُ النَّهْرِ، وَمَاءُ الْبِئْرِ، وَمَاءُ الْعَيْنِ، وَمَاءُ الثَّلْجِ، وَمَاءُ الْبَرَدِ.

“Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam: air langit (hujan), air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, dan air barad (hujan es).”

Secara umum, semua air yang diciptakan Allah, baik yang turun dari langit maupun yang keluar dari bumi, boleh digunakan untuk bersuci. Berikut rinciannya:

  1. Air Hujan (Air Langit): Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ “… dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu…” (QS. Al-Anfal[8]: 11).
  2. Air Laut: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, di mana seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., “Wahai Rasulullah, kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Jika kami gunakan untuk berwudhu, kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. menjawab:هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Tirmidzi). Kata thahur berarti suci zatnya dan menyucikan benda lain.
  3. Air Sungai: Air sungai pada dasarnya berasal dari air hujan atau mata air, sehingga hukumnya suci dan menyucikan berdasarkan kesepakatan ulama.
  4. Air Sumur: Merupakan air yang keluar dari dalam bumi, sehingga para ulama sepakat boleh digunakan untuk bersuci.
  5. Air Mata Air: Termasuk juga danau atau telaga yang airnya berasal dari dalam bumi. Para ulama berijma’ akan kebolehan menggunakannya untuk bersuci.
  6. Air Salju: Salju adalah air yang turun dari langit dalam bentuk butiran lembut. Jika salju tersebut mencair dan dapat digunakan untuk membasuh anggota wudhu atau mandi, maka ia boleh digunakan untuk bersuci.
  7. Air Al-Barad (Hujan Es): Istilah al-barad sering diterjemahkan sebagai embun, namun penjelasan yang lebih tepat dari para ahli bahasa dan fuqaha merujuk pada hujan es. Berbeda dengan salju yang berupa butiran lembut, al-barad adalah butiran es yang lebih besar dan padat. Jika butiran es ini mencair, airnya boleh digunakan untuk bersuci. Istilah ini juga ditemukan dalam doa iftitah:اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ “Ya Allah, bersihkanlah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju, dan hujan es.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun air embun, ia juga termasuk air yang diciptakan Allah. Jika dapat dikumpulkan dalam jumlah yang cukup untuk membasuh atau mengusap, maka ia juga boleh digunakan untuk bersuci.

Download mp3 Kajian Matan Al-Ghayah Wat Taqrib (Matan Abu Syuja)


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55683-matan-al-ghayah-wat-taqrib-matan-abu-syuja/